PACTA SUNT SERVANDA DAN CONCENSUALISM



Seperti kita ketahui pacta sunt servanda adalah asas kepastian hukum dalam perjanjian yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda memberikan sinyal bahwa hakim harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sehingga jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian.Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by theam in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).
Asas itikad baik mengandung pengertian suatu keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya. Selanjutnya pendapat dari Prof. R. Subekti, menunjukkan bahwa jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan, sehingga hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya (R. Subekti, 1998: 41). Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidak seimbangan atau melanggar rasa keadilan, hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian tersebut.
Pada mulanya pengadilan memegang teguh asas pacta sunt servanda, tetapi belakangan sikap ini bergeser ke arah iktikad baik. Iktikad baik bahkan kemudian digunakan hakim untuk membatasi atau meniadakan kewajiban kontraktual apabila ternyata isi dan pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan keadilan. Keadaan ini bisa kita jelaskan dari fakta yang menunjukkan adanya tarik-menarik antara dua asas penting dalam hukum kontrak, yakni antara pacta sunt servanda dari putusan-putusan pengadilan.
Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu:
1.      Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus bekerjasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan.
2.      Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memiliki hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
Sedangakan concensualism adalah asas konsensualisme dapat disimpulakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensulisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Contohnya :
            Pacta sunt servanda yaitu misalkan seseorang harus bekerjasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada giliranya memberikan kejujuran dan kesetian.
            Concensualism yaitu misalkan dalam hal perjanjian jual beli resiko mengenai barang yang diperjual belikan menurut Hukum Perjanjian harus dipikul oleh sipembeli sejak saat perjanjian jual beli ditutup. Tetapi apabila para pihak menghendaki lain tetap diperbolehkan.
Keuntungannya (negatif dan positif) :
            Pacta Sunt Servanda : para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan oleh karenanya dilindungi secara hukum, sehingga jika terjadi sangketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian (positif).
            Apabila seseorang individu memiliki hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak (negatif).
            Concensualism : perjanjian yang timbul karena adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dan pihak yang membuat perjanjian menghendaki membuat perjanjian sendiri yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang (negatif).
            Setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun yang belum di atur dalam undang-undang. Dengan pembatasan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (positif).
Solusinya :
            Hendaknya setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka dan saling percaya. Keadaan batin para pihak tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya

Komentar

Postingan Populer