PUNGUTAN LIAR (PUNGLI) DALAM DUNIA PENDIDIKAN


BAB I
LATAR BELAKANG

Korupsi merupakan ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa. Korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara maupun kualitasnya. Perkembangan korupsi akhir-akhir ini nampak semakin sistematis dan terpola. Luas lingkupnya juga telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Oleh sebab itu, secara nasional disepakati bahwa korupsi bukan saja sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh setiap subyek hukum, baik orang maupun badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dalam penyalahgunaan keuangan negara. Akibat tindakan pidana korupsi berdampak sangat luas, bukan hanya menyangkut keuangan negara, tetapi juga mampu merusak sistem pemerintahan, perekonomian dan pembangunan. Tidak banyak kasus tindak pidana korupsi yang diproses secara hukum dan ternyata hanya bisa dibuktikan secara hukum oleh instansi penegak hukum.
Bagi individu yang dalam kehidupan sehari-harinya selalu berinteraksi dengan uang sangatlah rentan terhadap peraktek korupsi, tak terkecuali kalangan akademisi, kaum intelektual, dan kaum agamawan. Buktinya, buktinya, korupsi telah merebak di kalangan-kalangan tersebut. korupsi juga merebak di berbagai lembaga negara, pemerintah dan juga lembaga-lembaga swasta.
Bentuk korupsi di Negara ini juga bermacam-macam, dimulai dari pungli di jalan-jalan, mark up proyek, mafia peradilan, ilegaloging sampai kredit macet yang merugikan negara triliunan rupiah. Maka tak salah kalau ada yang mengatakan bahwa penyakit korupsi di negara ini telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, koropsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Lalu tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalm sistem terjangkitpenyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit di bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik. Praktek korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai-nilai moral yang dapat mencegah korupsi yang akan dilakukannya. Hal situasional seperti adanya peluang korupsi tidak akan mendukung terjadinya korupsi apabila individu memiliki nilai-nilai moral yang terintegrasi menjadi kepribadian yang kokoh.
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan di zaman modern seperti sekarang ini tidak akan terlepas dari permasalahan yang muncul salah satunya permasalahan tentang mahalnya biaya pendidikan dan hal ini tentunya menjadi beban bagi sebagian orang tua murid yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi putra-puterinya. Disamping itu, orang tua murid banyak yang mengeluh karena terdapat sekolah yang membebankan murid dengan biaya-biaya diluar perkiraan yang biasa disebut dengan pungutan liar. Pungutan liar banyak terjadi terutama dalam penerimaan siswa baru (PSB). Ironisnya, lembaga Pendidikan yang notabene merupakan lembaga yang dituntut melahirkan insan-insan yang bebudi pekerti luhur pun tak luput dari epidemik pungutan liar ini.
Akhir-akhir ini pungutan liar di sekolah dengan berbagai modus operandinya sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat dan hal ini sulit dicegah karena melibatkan stakeholders pada lembaga tersebut. Padahal telah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Di antara alasan yang sering dijadikan tameng dalam melancarkan aksi penyimpangan dimaksud antara lain “demi meningkatkan kualitas, untuk menambah fasilitas (sarpras) sekolah, studi tour dan sebagainya” dan hal itu notabene melibatkan komite sekolah sebagai jurus untuk memuluskan aksi tersebut.
Hal ini merupakan konsekwensi logis dari upaya mencapai standart mutu pendidikan yang telah dicanangkan oleh pemerintah yaitu meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi pengelola lembaga-lembaga pendidikan untuk berkreasi guna menunjukkan eksistensinya di kancah nasional.
Pungutan yang diberlakukan pihak sekolah antara lain untuk keperluan seragam, operasional, bangunan, buku, dana koordinasi, internet, koperasi, amal jariyah, formulir pendaftaran, perpisahan guru, praktek, Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP), administrasi rapor, ekstrakurikuler, sumbangan pengembangan institusi, uang pangkal dan pungutan liar lainnya. Selain pungutan liar, masyarakat juga menyampaikan keluhan terhadap proses penerimaan siswa baru (PSB) yang tidak tersosialisasi dengan baik. Mereka mengeluhkan kurangnya informasi tentang persyaratan dan jangka waktu pelaksanaan PSB. Selain itu, mereka juga mengeluhkan mengenai PSB Online yang tidak transparan, proses seleksi diskriminatif, adanya titipan anak pejabat.
Sungguh mengerikan dan ironis tentang masalah yang terjadi di dunia pendidikan ini. Di tengah-tengat gencarnya upaya pemberantasan buta huruf, menggencarkan wajib sekolah sembilan tahun dan tanpa dipungut biaya bagi kalangan tertentu. Nyatanya, masih banyak lembaga pendidikan tertentu yang akrab dengan budaya pungutan liar. Alih-alih peningkatan kualitas. Padahal menuntut ilmu secara formal merupakan sektor strategis dan kunci bagi bangsa ini untuk menapakan kaki ke arah kehidupan bangsa yang lebih baik.
Mencermati fenomena di atas maka saya tertarik mengkaji lebih dalam masalah tersebut dalam sebuah makalah yang berjudul “Pungutan Liar (Pungli) Dalam Dunia Pendidikan”.







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pungutan Liar
Pungutan liar atau pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kegiatan pungutan liar (selanjutnya disebut pungli) bukanlah hal baru. Pungli berasal dari frasa pungutan liar yang secara etimologis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memungut bayaran/meminta uang secara paksa. Jadi pungli merupakan praktek kejahatan.
Pungutan liar merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering   disamakan   dengan   perbuatan pemerasan.
Sesungguhnya, pungli adalah sebutan semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (pungli).Dalam bekerjanya, pelaku pungli selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pihak yang berada dalam posisi lemah karena ada kepentingannya.
Dalam rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU Nomor 3 Tahun 1971 , dan Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU Nomor 20 Tahun 2001 (Memahami untuk membasmi), Pengertian pungutan liar adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Penulis berkesimpulan bahwa pungutan liar adalah suatu pebuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau aparatur Negara yang memiliki dan menyalahgunakan suatu kewenangan tertentu dengan mengharap sebuah imbalan dengan menyalahi aturan hukum sehingga menimbulkan akibat moril dan materil bagi orang lain.
B. Unsur-unsur Pungutan Liar
Pungutan liar terdiri atas unsur- unsur obyektif dan unsur-unsur subjektif antara lain, yaitu:
a.       Unsur-unsur Obyektif
Pada pungutan liar yang menjadi unsur-unsur objektif dalam hal ini diatur dalam rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP adalah :
1.         Pegawai negeri atau penyelenggara negara (deambtenaar)
2.         Menyalahgunakan kekuasaan (misbruik van gezag);
3.         Memaksa seseorang (iemand dwigen om) untuk :
·         Memberikan sesuatu (iets af geven);
·         Membayar (uitbetaling);
·    Menerima pembayaran dengan potongan, atau (eene terughouding genoegen nemenbij eene uitbetaling);
·         Mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri(een persoonlijken dienst verrichten).

b.      Unsur-unsur Subyektif

Pada pungutan liar yang menjadi unsur-unsur subjektif dalam hal ini diatur dalam rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP adalah :
1.      Atau dengan maksud untuk (met het oogmerk om) menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum (zich of een ander wederrechtelijk te bevoordelen);
2.      Menguntungkan secara melawan hukum (wederrechtelijk te bevoordelen)

C. Gambaran Realita Pungutan Liar di Sekolah

Pungutan liar biasanya dijumpai pada awal ajaran baru. Contohnya pasca penerimaan murid baru di tingkat SD dan SMP marak terjadi di beberapa daerah. Besarnya pungutan beragam mulai dari 450 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah. Hal itu terungkap ketika puluhan orang tua murid mengadukan adanya pungutan liar ke Posko Pengaduan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dibuka Indonesia Corruption Watch (ICW) di beberapa daerah.
Pungutan liar tersebut, biasanya banyak terjadi setelah siswa diterima di sekolah, bukan pada saat proses penerimaan siswa baru. Bentuk pungutan tersebut dapat bermacam-macam, mulai dari uang bangunan, uang buku, uang bangku,uang studi tour bahkan  uang pensiun guru,  dan sebagainya.
Selain melalui PPDB  (Penerimaan Peserta Didik Baru), modus pungli pun beragam. Seperti di beberapa sekolah dasar di Karawang, pungli dilakukan beberapa guru dengan mengadakan les tambahan  mata pelajaran yang di UN-kan, mulai dari kelas III sampai kelas IV, setiap siswa dibebankan iuran Rp. 100.000 per bulan untuk setiap mata pelajaran. Kenapa ini disebut pungli ? Karena guru tersebut seperti sengaja tidak menerangkan KD yang seharusnya siswa terima jam mereka mengajar. Padahal mereka sudah mendapatkan sertifikasi dan kesejateraan PNS dari pemerintah. Sekolah tidak melakukan tindakan tegas, terhadap pelanggaran ini.
Tidak berhenti sampai disini, biaya alat-alat kebersihan kelas dan ATK (Alat Tulis kantor) dibebankan ke siswa, padahal   seharusnya dana ini dibiayai oleh Dana BOS. Entah Dana BOS yang tidak mencukupi operasional sekolah atau karena terhambat proses pencairannya bahkan mungkin dan BOS nya  tidak memadahi lagi sebab sudah disunat oleh “Bos ” alias oknum pemamngku kebijakan di lembaga terkait.

Praktek  Pungutun  liar yang sering terjadi di sekolah melalui berbagai modus antara lain :
Ø  Ketika PPDB, sekolah  meminta biaya tes, pembelian formulir dan lainnya.
Ø   Sekolah meminta dana sebagai syarat  lulus tes (membeli kursi).
Ø  Penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah, buku-buku, seragam sekolah, bahkan untuk kegiatan yang diselenggarakan untuk menyambut siswa baru dan lain-lain.
Ø  Memungut biaya untuk fasilitas kelengkapan kelas.
Ø  Memungut  dana dari  siswa sebagai biaya les tambahan di luar jam belajar.    
Ø  Dan banyak lagi modus-modus pungli lainnya.

D. Pungutan Liar oleh Oknum Pemerintahan
           
                        Menurut Febri Hendri, peneliti senior ICW ( Kompas, 1/10/2011), perubahan mekanisme penyaluran dana BOS membuka peluang penyelewengan yang masif. Dana Bos masuk ke kas pemerintah provinsi bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik daerah, misalnya dipergunakan untuk pemilihan kepala daerah. Selain itu hubungan yang tidak harmonis antara pemerintahan provinsi dan daerah menjadi faktor penghambat macetnya penyaluran. Pasalnya ada kemungkinan pemerintah provinsi menahan penyaluran dana untuk menekan agar   pemerintahan kabupaten mengikuti aturan main gubernur.  Hal ini yang menyebabkan dana BOS terlambat disalurkan ke lembaga  sekolah. Keterlambatan ini pun sering dijadikan tameng  untuk  memungut biaya di luar ketentuan baik  di  lembaga pendidikan maupun di lembaga pemerintahan.
            Selain dana BOS oknum di lembaga pemerintahan seringkali memungut biaya kepada lembaga pendidikan. Baik melalui proses akreditasi, sertifikasi guru, mark up , dan lain sebagainya.
            Koran Sindo (17 September 2012), memberitakan suatu kasus Pungutan liar (pungli) yang  menodai dunia pendidikan di Kabupaten Garut. Sejumlah guru yang sedang mengikuti ujian sertifikasi ulang, pungli dengan modus dana pinjaman koperasi guru di kecamatan. Seorang guru yang enggan menyebutkan sekolah tempatnya mengajar, Engkus mengaku  pungutan tersebut dilakukan langsung oleh oknum pegawai Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Garut. Dengan dalih untuk simpanan koperasi guru diwajibkan mencicilnya dengan cara dipotong gaji.
            Selain kasus di atas, pada saat sekolah melaksanakan akreditasi, seringkali assesor meminta lebih dari haknya, sekolah seperti tidak bisa menolak karena hubungannya dengan nilai akreditasi yang akan mereka dapatkan. Pertanyaan assesor di luar pertanyaan yang seharusnya, seringkali dijadikan alat untuk memberi tekanan kepada pihak sekolah untuk memberikan “sesuatu” di luar ketentuan. Atau bahkan karena lumrahnya hal di atas, sekolah seperti enggan mempersiapkan akreditasi ini dengan matang  karena mereka bisa “membeli nilai” dengan hanya mengisi uang saku pengawas dengan sejumlah uang yang tidak sedikit.
            Tidak berhenti sampai di situ, masih banyak  lagi pungutan-pungutan lain yang direkayasa sehingga tampak seperti bukan pungutan, melalui mark up pengadaan barang misalnya, di suatu kabupaten di Jawa Barat kalender pendidikan dihargai Rp.10.000/lembar, komputer untuk Dapodik yang dihargai Rp.9.500.000 dengan spesifikasi komputer China. Miris melihat kenyataan  pendidikan di Indonesia ini, dimana pungli sudah merajalela dan korup menjadi budaya, menyunat anggaran menjadi biasa.    
            Dari beberapa kasus pungli di atas dapat penulis simpulkan, bahwa pungutan liar ini dari hulu ke hilir, dari pemerintah pusat sampai ke lembaga pendidikan, seperti sudah biasa di dunia pendidikan yang  notabene tempat lahirnya generasi unggulan bangsa, dimana  karakter bangsa ditempa.
F. Analisis Data

Persoalan pungli di dunia pendidikan tidak hanya persoalan mekanisme dana BOS,  keterlambatan dan penyunatan dana BOS, tetapi juga BOS ini dijadikan mata pencaharian oknum kepala sekolah. Dugaan ini dikatakan aktivis Gerakan Rakyat Berjuang (GRB) Kabupaten Palas, Mardan Hanafi Hasibuan SH, Kamis (20/9).  Alasannya, banyak ditemukan sekolah penerima bantuan dana BOS, alat tulis kantornya tidak ada. Bahkan, untuk kebutuhan kapur dan peralatan sekolah pun tidak ada, padahal dana BOS cukup besar jumlahnya yang dialokasikan setiap triwulannya. Kadis Pendidikan Palas, Khoiruddin Harahap mengutarakan, dana BOS untuk keseluruhan tingkat SD dan SMP setiap triwulannya sebanyak Rp 6,9 miliar, dan tujuannya agar terwujudnya pendidikan yang berkualitas dan bersih serta gratis.Kenyataannya anggaran 20 persen untuk pendidikan  itu banyak dijadikan oknum pejabat di lingkungan Kemendikbud dan Kemenag sebagai objek mata pencaharian. Sehingga tidak heran banyak pegawai di lingkungan Disdikbud berlomba-lomba menjadi Kasek.
Modus operansi penyelewengan tersebut dilakukan secara sistematis oleh  oknum kepala sekolah dengan memerintahkan bawahannya untuk membuat laporan dana penggunaan BOS yang direkayasa. Istilah “kwitansi kosong” sudah biasa dilakukan sekolah pada saat transaksi  pengadaan suatu barang. Sehingga mark up harga suatuan  barang pun terjadi pada saat pembuatan laporan BOS ini.  Laporan dibuat, supaya pemerintah dapat mengontrol penggunaan dana BOS dan menjadikan laporan sebagai bahan evaluasi  pelaksananan  program tersebut.   Prinsip pelaporan “asal ada” dan  laporan yang direkayasa menyebabkan pemerintah menarik kesimpulan yang kurang tepat, dan  menganggap bahwa program ini berjalan lancar seperti tidak ada masalah padahal kenyataannya berkata lain.
Terjadinya penyimpangan penggunaan dana BOS  di luar peruntukannya, apakah untuk memberi oknum pejabat yang berkopenten dalam prosedur pencairan dana BOS  pada instansi terkait atau disalah gunakan oleh pihak sekolah untuk kepentingan pribadi/ kelompok,  yang jelas sebagai konsekwensi logisnya adalah  menuntut para pengelola lembaga pendidikan untuk mencari dana dari sumber lain guna  membeli kebutuhan opersional sekolah, hal inilah merupakan salah satu faktor penyebab terjadi pungli di lingkungan sekolah  selain faktor-faktor lain yakni  mental korup yang ada bersemayam di dalam diri oknum-oknum yang bersangkutan.

 F. Pungutan Liar dalam Pandangan Hukum

Pungutan liar (Pungli) merupak suatu tindakan pelanggaran hukum. Dimana dalam KUHP sudah diatur mengenai pungutan liar tersebut. Adapun penjelasan beberapa Pasal di dalam KUHP yang dapat  mengakomodir  perbuatan  pungutan  liar  adalah  sebagai berikut:

a.      Pasal 368 KUHP
        
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”


b.      Pasal 423 KUHP

“Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.”

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan yang diatur dalam Pasal 423 KUHP merupakan tindak pidana korupsi, sehingga sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.

G. Upaya Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Di Sekolah

Dalam upaya meminimalisir pungutan liar di sekolah untuk itu perlu beberapa strategi yang segera diimplementasikan untuk menghentikan perilaku pungutan liar di sekolah, antara lain:
1.       Sekolah secara kreatif mencari sumber-sumber dana yang lain selain orangtua anak didik untuk pembiayaan sekolah, misalnya dengan bekerjasama dengan pihak industri dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sebagai komoditinya;
2.      Memaksimalkan komite sekolah untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja dan penggunaan anggaran yang diminta oleh pihak sekolah kepada orang tua anak didik, sebagai bentuk transparansi. Di samping itu anggota komite sekolah diisi dari berbagai kalangan seperti akademisi, profesional, pegiat sosial, kepolisian dan lain sebagainya- dan bukan hanya diisi oleh orang tua yang berasal dari strata ekonomi menengah ke atas;
3.      Menerapkan Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah. Dengan diterapkannya pendidikan anti korupsi di sekolah dapat mendorong anak didik untuk mengerti, memahami dan merasakan mengenai seluk-beluk korupsi, sehingga secara tidak langsung anak didik dapat mengawasi dan memantau perilaku para pelaku pendidikan di sekolahnya masing-masing agar perilaku pungutan liar atau korupsi tidak terjadi bahkan menjadi budaya;
4.      Menanamkan budaya kerja kepada semua pegawai negeri khusunya penyelenggara pendidikan dengan mengedepankan norma-norma dalam pemahaman terhadap makna bekerja, sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan, sikap terhadap lingkungan pekerjaan, sikap terhadap waktu, sikap terhadap alat yang digunakan untuk bekerja, etos kerja, dan perilaku saat bekerja atau mengambil keputusan;
5.      Orang tua harus menanamkan rasa tanggung jawab dan jiwa kritis kepada anak agar apabila di sekolahnya terjadi pungutan liar atau korupsi, anak berani untuk tidak turut serta mendukung tindakan tersebut dan menyelesaikan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan tanpa melakukan tindakan yang berpotensi menyogok gurunya;
6.      Mendorong sekolah untuk membuat pakta integritas yang ditandatangani secara bersama oleh guru, karyawan, pimpinan sekolah, kepala sekolah, orang tua murid, masyarakat dan dinas pendidikan yang bermuatan ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan;
7.      Mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk berkometmen dalam pemberatasan pungutan liar. Salah satunya adalah pemerataan fasilitas sekolah, tunjang yang layak bagi para guru dan pengajar, sistem pembelajaran yang baik diharapkan mampu memberantas pungutan liar di sekolah.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pungutan liar atau pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Pungutan liar merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering   disamakan   dengan   perbuatan pemerasan. Pungutan liar (Pungli) merupak suatu tindakan pelanggaran hukum. Dimana dalam KUHP sudah diatur mengenai pungutan liar tersebut. yaitu pada Pasal 368 KUHP dan 423 KUHP.

B. SARAN

Agar masalah pungutan liar ini tidak terus terjadi, maka ada baiknya pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan dari guru ataupun pihak sekolah karena masalah ini berkembang lantaran tingkatan kesejahteraan tenaga pendidik yang kurang diperhatikan sehingga banyak terjadi praktek pungutan liar.



DAFTAR PUSTAKA

Eprilianti, Erna (2013) PELAKSANAAN PENGAWASAN DPRD TERHADAP KEBIJAKAN PERDA No. 20 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN : Studi Deskriptif Pada DPRD Kota Bandung Mengenai Pelanggaran Pungutan Liar di sekolah. S1 Skrisi, Pada Universitas Pendidikan Indonesia. (Online), (repository.upi.edu/2639/4/S_PKN_0906241_Chapter1, Diakses 22 Oktober 2016) 
Inggried, Dwi Wedhaswa, 2012, http://edukasi.kompas.com
Khabibullah, Muttaqin, 2015. Strategi Brantas Pungutan Liar di Sekolah, 17 Juni 2015. (Online), (http://www.kompasiana.com/khabibulloh/strategi-berantas-pungutan-liar-di-sekolah_54f90bb9a33311b80b8b4c48 diakses 22 Oktober 2016) 
Rahmatullah, Nabila Zoraya, 2014. Tinjauan Kriminologi Terhadap Pungutan Liar Oleh Penyelenggara Pendidikan Di Sekolah Yang Berada Di Wilayah Hukum Kota Makassar. Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Sayadi, Muhammad, 2015. Tinjauan Hukum Pungutan Liar Terhadap Pengemudi Angkotan Kota Antar Daerah di Kabupaten Wajo. (Online), (ojs.unm.ac.id/index.php/tomalebbi/article/download/1625/690)
Suroto, 2015. Terapi Penyakit Korupsi: Peran PKn. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, No. 10, hlm 767.
Wahardi, 2013. Cegah Praktek Pungli Di Sekolah Dengan Mengembangkan  Budaya Kerja Organisasi, (Online), (http://wi-indonesia.blogspot.co.id/2013/01/cegah-praktek-pungli-di-sekolah-dengan 359.html diakses 22 Oktober 2016)
Zaman, Nuruz, 2010. Sanksi Pidana Pungli oleh Pihak Sekolah (Suatu Tinjauan Positif dan Hukum Pidana Islam) Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta


Komentar

Postingan Populer